Jumat, 11 Juli 2025

Maksud Anjuran Mengusap Kepala Anak Yatim di Hari Asyura

Bulan Muharram merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Banyak peristiwa istimewa terjadi di bulan ini, menjadikan setiap ibadah dan kebaikan yang dilakukan di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Banyak amal kebaikan yang dianjurkan pada bulan ini, salah satunya adalah menyantuni anak yatim. Khususnya pada tanggal 10 Muharram, atau yang dikenal sebagai Hari Asyura, sangat dianjurkan untuk bersedekah dan menyantuni anak yatim.

Namun, seringkali muncul pertanyaan tentang maksud dan praktik mengusap kepala anak yatim mengingat adanya anjuran tersebut. Merujuk sejumlah literatur, terdapat anjuran mengenai kesunahan mengusap kepala anak yatim. Di antara keutamaan amalan ini adalah Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.

Syekh Ibrahim As-Samarqandi (wafat 373 H) dalam kitabnya mengungkapkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً

Artinya: “Dari Ibn Abbas RA: Barangsiapa yang berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharram, niscaya Allah akan memberikan padanya seribu pahala malaikat, pahala sepuluh ribu orang berhaji dan umrah, dan pahala seribu orang mati syahid. Dan siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.” (Tanbih Al-Ghafilin Bi Ahadits Sayyid Al-Mursalin [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], h. 191)

Selain dalam Tanbih Al-Ghafilin Bi Ahadits Sayyid Al-Mursalin ini, terdapat beberapa kitab yang mencantumkan hadits ini dengan riwayat yang berbeda. Kendati sanad hadits ini dianggap lemah (dhaif), namun isinya (matan hadits) tersebut boleh untuk diamalkan, karena berkaitan dengan amalan-amalan utama (fadhail al-a’mal). Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam karyanya menegaskan:

 قَالَ الْعُلَمَاءُ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَغَيْرِهِمْ: يَجُوزُ وَيُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ مَا لَمْ يَكُنْ مَوْضُوعًا. وَأَمَّا الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَالْبَيْعُ وَالنِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَغَيْرُ ذَلِكَ فَلَا يُعْمَلُ فِيهَا إِلَّا بِالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَوِ الْحَسَنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي احْتِيَاطٍ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كَمَا إِذَا وَرَدَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ بِكَرَاهَةِ بَعْضِ الْبُيُوعِ أَوِ الْأَنْكِحَةِ فَإِنَّ الْمُسْتَحَبَّ أَنْ يَتَنَزَّهَ عَنْهُ 


Artinya: “Para ulama dari kalangan ahli hadits, fikih, dan lainnya berpendapat bahwa boleh dan disunahkan mengamalkan hadits dha’if dalam fadhailul a’mal, targhib, dan tarhib selama hadits tersebut bukan hadits maudhu’. Adapun untuk ketentuan halal-haram, jual-beli, nikah, talak, dan semisalnya, maka selain hadits shahih dan hasan tidak boleh digunakan. Kecuali dalam rangka ihthiyath (berhati-hati). Misalnya ada hadits dha’if yang menjelaskan hukum makruh beberapa bentuk transaksi jual-beli atau akad nikah, maka disunahkan untuk menjauhi transaksi dan akad tersebut.” (Al-Adzkar Min Kalam Sayyid Al-Abrar [Riyadh: Maktabah Nazar Musthafa], h. 10-11) Terkait maksud dari anjuran mengusap kepala anak yatim tersebut, Syekh Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan makna hakiki (arti sebenarnya) yakni mengusap kepala anak yatim. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam kompilasi fatwanya:

 وَالْمُرَادُ مِنَ الْمَسْحِ فِي الْحَدِيثِ الثَّانِي حَقِيقَتُهُ كَمَا بَيَّنَهُ آخِرُ الْحَدِيثِ وَهُوَ: مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيمٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلَّا لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَمُرُّ عَلَيْهَا يَدُهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيمَةٍ أَوْ يَتِيمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَقَرَنَ بَيْنَ أَصْبَعَيْهِ. وَخَصَّ الرَّأْسَ بِذَلِكَ لِأَنَّ فِي الْمَسْحِ عَلَيْهِ تَعْظِيمًا لِصَاحِبِهِ وَشَفَقَةً عَلَيْهِ وَمَحَبَّةً لَهُ وَجَبْرًا لِخَاطِرِهِ، وَهَذِهِ كُلُّهَا مَعَ الْيَتِيمِ تَقْتَضِي هَذَا الثَّوَابَ الْجَزِيلَ 

Artinya: “Maksud dari kata mengusap dalam hadits yang kedua adalah makna hakiki, sebagaimana diterangkan oleh hadits lain, yaitu: Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim semata-mata karena Allah, niscaya Allah memberikan 10 kebaikan pada setiap helai rambut yang diusapnya. Dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim, perempuan atau laki-laki, niscaya aku (Nabi Muhammad) akan bersamanya seperti ini (dua jari tangan), lalu Nabi berisyarat dengan kedua jarinya. Penyebutan kata ra’sun (kepala), karena mengusap kepala berarti menghargai, mengasihi, cinta kasih, dan mengayomi kebutuhannya. Jika semua itu dilakukan pada anak yatim, maka akan mendapatkan pahala yang sangat agung.” (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], h. 107) Sementara itu menurut pendapat Syekh Mulla Al-Qari (wafat 1014 H), yang dimaksud kata mengusap pada hadits tersebut adalah arti kinayah (metafora) dari anjuran untuk berbuat baik dan kasih sayang kepada anak yatim. Dalam kitabnya beliau mengungkapkan:

 قَالَ الطِّيبِيُّ: مَسْحُ رَأْسِ الْيَتِيمِ كِنَايَةٌ عَنِ الشَّفَقَةِ وَالتَّلَطُّفِ إِلَيْهِ، وَلَمَّا لَمْ تَكُنِ الْكِنَايَةُ مُنَافِيَةً لِإِرَادَةِ الْحَقِيقَةِ لِإِمْكَانِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا 

Artinya: “Imam At-Thoyibbi berkata: Mengusap kepala anak yatim merupakan suatu kinayah tentang kasih sayang dan sikap lemah lembut (kepada anak yatim). Makna kinayah ini tidak bertentangan dengan makna hakiki, karena keduanya bisa dikompromikan.” (Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 9, H. 185)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dari maksud anjuran mengusap kepala anak yatim di hari Asyura. Menurut Syekh Ibn Hajar Al-Haitami, hal ini merupakan makna hakiki, yaitu mengusap kepala secara langsung sebagai simbol penghormatan, kasih sayang, cinta, dan pengayoman.  Adapun Syekh Mulla Al-Qari mengutip pernyataan Imam At-Thibbi memaknainya sebagai bentuk kinayah atau metafora yang melambangkan sikap lemah lembut dan berbuat baik secara umum kepada anak yatim. Kendati demikian, kedua makna ini tidak saling bertentangan dan bahkan dapat dikompromikan, yang pada intinya menunjukkan bahwa baik mengusap secara fisik maupun memberikan kasih sayang secara umum merupakan tindakan yang mulia.
Wallahu a’lam bish shawab.

Share:

1 komentar:

Blogroll

Blogger templates