This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 26 Juni 2025

Semua Bukan Milik Kita

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَوْضَحَ لَنَا شَرَائِعَ دِيْنِهِ وَمَنَّ عَلَيْنَا بِتَنْزِيلِ كِتَابِهِ وَأَمَدَّنَا بِسُنَّةِ رَسُولِهِ، فَلِلّٰهِ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَنْعَمَ بِهِ مِنْ هِدَايَتِهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَيْرِ الْإِنْسَانِ مُبَيِّنًا عَلَى رِسَالَةِ الرَّحْمَنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ الْمَحْبُوْبِيْنَ جَمِيْعًا, وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مُوْقِنٍ بِتَوْحِيْدِهِ، مُسْتَجِيْرٍ بِحَسَنِ تَأْيِيْدِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ الْمُصْطَفَى، وَأَمِيْنُهُ الْمُجْتَبَى وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ إِلَى كَافَةِ الْوَرَى
 أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللّٰهِ اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللّٰهِ الرّٰحْمَنِ الرّٰحِيْمِ، وَالْعَصْرِ إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِِلَّا الَّذِینَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصبرصَّ




Jamaah jumah rohimakumullah, marilah kita tingkatkan takwa kepada Allah SWT. Dalam momen tahun baru hijriah ini mari kita renungkan apa yang telah kita capai dan apa yang akan menjadi target kita dalam kehidupan mendatang.

Mari kita renungkan apa yang sebenarnya kita miliki coba pikirkan rumah, uang di rekening, kendaraan, gelar yang di banggakan, semua itu hanya terasa milik kita ketika kita mengingatnya. Tapi begitu kita lupa atau tidur semuanya lenyap hilang dari kesadaran seolah-olah tak perah ada. Perah kita terbangun dengan perasaan tak ingat siapa dan di mana kita berada, tidak ingat kita punya punya ini itua. Apa yang kita memiliki hanyalah tipuan terbesar yang pernah diciptakan manusia. Sebuah kebohongan kolektif yang kita sepakati agar merasa aman, padahal setiap malam kita semua kembali ke titik nol menjadi makhluk tanpa harta tanpa identitas tanpa kepemilikan apaun.

Jadi apa yang benar-benar kita punya ? atau jangan-jangan tidak ada sama sekali. Kita pernah lupa di mana menyimpan uang atau barang penting selama benda itu tak ada dalam ingatan kita seakan-akan ia tidak pernah ada tapi begitu kitaa menemukannya kembali tiba-tiba rasa memiliki itu kembali menyala. Lucunya dengan benda yang sama tapi perasaan kita terhadapnya berubah hanya karena kita mengingatnya atau tidak.

Begitu pula dengan harta yang kita tumpuk, properti yang kita beli, kebun yang kita usahakan semua itu terasa milik kita hanya karena kita masih mengingatnya. Coba bayangkan ada miliarder yang memiliki rekening dengan miliaran dolar tapi ia lupa akan rekening itu, secara hukum uang itu masih miliknya tapi dalam realitasnya ia sama saja seperti orang yang tidak memiliki uang speser pun. Karena apa yang tidak kita sadari tak benar-benar menjadi bagian dari hidup kita. Manusia menggantungkan rasa memiliki pada ingatan sebuah ilusi yang rapuh karena kita tahu, betapa mudahnya lupa datang dan mengambil segalanya.

Tidur adalah momen saat kita kehilangan segalanya, setiap malam kita memasuki dunia di mana kita bukan siapa-siapa, tidur menghapus semua klaim kita atas dunia, saat terlelap kita tidak punya nama, tidak punya rumah tidak punya uang, tidak punya status sosial, kita hanya sebuah kesadaran yang melayang di dalam kegelapan tanpa menyadari apa yang pernah kita perjuangkan di dunia nyata. Bayangkan ada seseorang yang sangat kaya tidur di kasurnya yang empuk di rumah mewahnya. Saat ia terlelap Apakah ia masih seorang miliarder ? secara teknis Iya tapi pada level pengalaman ia tidak lebih kaya dibandingkan seorang gelandangan yang tidur di trotoar, keduanya sama-sama kehilangan kepemilikan mereka selama tidur.

Jadi jika kepemilikan bisa hilang begitu saja hanya karena kita kehilangan kesadaran, dunia kita hidup hanya dibangun di atas kesepakatan yang kepemilikannya berdasarkan ingatan, tapi kenyataannya tidak ada satuun di dunia ini yang benar-benar bisa kita genggam selamanya. Sejarah penuh dengan kisah orang yang kehilangan segalanya dalam semalam inflasi menghancurkan tabungan perusahaan bangkrut rumah disita atau bahkan yang lebih tragis seseorang kehilangan ingatannya, dan seketika ia bukan lagi pemilik dari apun yang pernah ia kumpulkan, tanpa ingatan tanpa kesadaran segalanya menguap seperti kabut pagi yang diterpa matahari.

Lalu jika kepemilikan begitu rapuh mengapa kita menghabiskan hidup mengejarnya ? jika kepemilikan adalah ilusi lalu apa yang nyata ? jika kita berani menelanjangi ilusi ini kita akan sadar bahwa kita tak pernah benar-benar memiliki apapun, kita hanya meminjam dari waktu dari keadaan dari keberuntungan, bahkan tubuh kita sendiri suatu hari nanti akan dikembalikan ke bumi.

Jadi apa yang benar-benar kita miliki mungkin hanya pengalaman hanya yang kita sadari dan rasakan sepenuhnya saat ini, mungkin bukan tentang benda uang atau status tetapi tentang seberapa kita hidup setiap detik yang kita jalani. karena pada akhirnya saat kesadaran kita padam untuk terakhir kalinya semua yang kita kumpulkan akan lenyap dan pada titik itu kita akan menyadari satu hal yang seharusnya sudah kita sadari sejak awal, bahwa sejak awal kita memang tidak pernah memiliki apa-apa. Pernahkah kita benar-benar memiliki sesuatu bukan sekadar merasa memilikinya tapi benar-benar memilikinya dalam arti bahwa benda itu akan tetap menjadi milik kita selamanya tanpa kemungkinan hilang diambil atau berubah, jika kita jujur jawabannya adalah tidak. Semua yang kita klaim sebagai milik kita pada akhirnya hanya kita pakai kita nikmati lalu kita tinggalkan kita tidak benar-benar memiliki apapun, kita hanya diberi izin untuk menggunakannya dalam jangka waktu tertentu.

Lihatlah rumah yang kita tinggali, kita mungkin membelinya dengan uang hasil jerih payah, tapi apakah rumah itu benar-benar milik kita ? tidak, Ia hanya menjadi tempat berteduh selama kita masih hidup, selama kita masih mampu membayar pajaknya, selama hukum masih mengakui surat kepemilikan kita, tapi begitu kita mati rumah itu akan berpindah tangan bisa diwariskan bisa dijual, pada akhirnya rumah itu bukan milik kita, kita hanya memakainya untuk sementara waktu.

Begitu pula dengan tanah, manusia menghabiskan hidupnya berebut sepetak tanah menancapkan plang bertuliskan dilarang masuk tanah pribadi seolah-olah mereka benar-benar memiliki bumi ini padahal tanah itu sudah ada Jauh sebelum mereka lahir dan akan tetap ada lama setelah mereka mati. Satu-satunya yang mereka miliki hanyalah hak guna izin sementara untuk menggunakan tanah itu sampai waktu mereka habis bahkan tubuh kita sendiri bukan benar-benar milik kita, kita menggunakannya untuk menjalani hidup tapi kita tidak bisa benar-benar mengendalikannya, kita tidak bisa mencegahnya menua tidak bisa menolak sakit tidak bisa menghindari kematian dan pada akhirnya tubuh ini pun akan dikembalikan ke tanah menjadi debu yang tak lagi bisa diklaim oleh siapun.

Lalu bagaimana dengan harta benda lain uang kendaraan perhiasan bisnis ? sama saja, semua itu hanya bisa kita gunakan ketika kita masih hidup dan sadar akan kepemilikannya, tapi setelah kita mati atau bahkan hanya lupa kita kehilangan maknanya, seberapapun kayanya seseorang Ia tetap tak bisa membawa sepeser pun kekayaannya ke alam baka begitu ia mengembuskan nafas terakhir rekening banknya tak lebih dari sekumpulan angka tanpa pemilik.

Jadi kalau dipikir-pikir kita sebenarnya bukan pemilik dunia ini kita hanya penyewa hanya pengguna sementara yang diberikan kesempatan untuk menikmati apa yang ada, lalu kalau kepemilikan hanyalah ilusi, dan yang kita miliki hanyalah hak guna apa yang seharusnya kita lakukan mungkin jawabannya sederhana berhenti terobsesi untuk memiliki dan mulai belajar untuk menggunakan dengan bijak karena pada akhirnya semua yang kita genggam akan lepas satu-satunya yang tersisa hanyalah bagaimana kita menggunakannya sebelum waktu kita habis.


بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Share:

Jumat, 20 Juni 2025

Format Label Undangan 103 Excel 2010 dan 2013


Format label undangan yang akan saya bagikan secara gratis pada artikel saya kali ini menggunakan microsoft excel. Jika dibandingkan template yang saya bagikan dalam bentuk word, menurut pendapat saya pribadi format label undangan 103 excel 2010 dan format label undangan 103 excel 2013 ini jauh lebih simpel dan mudah untuk proses pengisian data.

Download klik disini

Share:

Kamis, 19 Juni 2025

Hikmah Ibnu Atho'illah

Sumber : Sudrun Gugat

Bagaimana bisa ibadah yang merupakan perintah Tuhan bisa berubah menjadi kemaksiatan? Dan bagaimana bisa kemaksiatan justru outputnya adalah ibadah? Pada kesempatan kali ini, mari kita rehat sejenak, ngaji hikam bareng, mudah-mudahan ada manfaat untuk kita semua, karena di zaman yang penuh kemunafikan ini, perlu kiranya untuk meraba hati, jangan-jangan sebenarnya kita sedang tunduk kepada nafsu kita sendiri.

Dalam hikam-nya Ibnu Athoillah berkata "Lebih baik maksiat yang melahirkan kehinaan dan kefakiran, daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong.” Mari kita dudukkan perkara ini di kursi panas. Di satu sisi, kita punya si pelaku maksiat wajahnya mungkin kusut, bajunya lusuh, hidupnya style islami, dan doanya tidak viral. Di sisi lain, ada si ahli ibadah jenggotnya terawat, sujudnya lama, status WhatsApp-nya ayat terus, bahkan doa-doanya punya font khusus: bold, italic, underline. Tapi jangan salah. Bukan rupa yang dibedah Ibnu ‘Athaillah, melainkan rasa rasa dalam hati yang tak kasat mata tapi bikin malaikat mengernyit. Ibnu ‘Athaillah tidak sedang menyuruh kita melacurkan iman demi rasa rendah hati. Tidak juga menyarankan maksiat sebagai jalan tol menuju Tuhan. Tapi beliau sedang menggaruk luka dalam yang sering ditutupi kain kafan kesalehan: sombong karena taat. Ini penyakit halus, seperti kolesterol dalam darah orang rajin puasa. Tak terlihat, tapi mendadak bisa bikin keimanan ambruk. Orang maksiat yang tahu diri biasanya datang dengan air mata, bukan kamera. Ia tahu dirinya tidak pantas, sehingga justru menunduk, meminta, dan menggantungkan seluruh harapannya pada Tuhan. Dan, seperti kata Ar-Rundi, kehinaan dan kefakiran adalah sifat-sifat kehambaan. Maka orang seperti ini sedang menapaki jalan kehadiran Tuhan dengan langkah gontai namun tulus. Tidak ada topeng, tidak ada kostum, hanya ketelanjangan jiwa yang membuatnya jujur di hadapan Ilahi.

Sebaliknya, kemuliaan dalam bentuk kesombongan dan keangkuhan adalah sifat-sifat ketuhanan. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis qudsi: bahwa Allah berfirman: "Kesombongan adalah selendang-KU. Kebesaran adalah sarung-Ku. Barang siapa mengambil salah satunya dariKu. Maka ia akan Aku lemparkan ke dalam neraka." Dan sayangnya, ada manusia yang suka mencuri jubah Tuhan. Ketika taat menjadi panggung, dan sajadah menjadi karpet merah ego, maka ibadah bukan lagi bentuk penghambaan, tapi semacam deklarasi: “Lihat aku, wahai semesta!” Ia menyelipkan selfie spiritual di balik dzikir, dan kalau perlu, menyenggol Tuhan dari takhta-Nya karena merasa lebih tahu siapa yang pantas masuk surga. Jadi, bukan maksiat atau taat yang menjadi soal, tapi buah dari keduanya.

Jika maksiat melahirkan penyesalan dan rasa hina, maka itu tanah subur bagi tumbuhnya rahmat. Tapi jika ketaatan melahirkan kesombongan, maka itu bukan taqwa—itu tirani rohani. Orang seperti ini bisa menjadi seperti Iblis: ahli ibadah yang jatuh bukan karena tidak sujud, tapi karena merasa lebih baik dari yang lain. Dan inilah letak satire surgawi dari ucapan Ibnu ‘Athaillah: “Lebih baik kamu hina karena maksiat, daripada angkuh karena taat.” Karena Tuhan tidak menimbang amalmu dengan timbangan likes, shares, dan jumlah hafalanmu, tapi dengan bobot hatimu. Dan hati yang berat oleh kesombongan akan ditolak, sementara hati yang hancur karena merasa hina akan diangkat. Jadi, wahai para “penyeru kebenaran” yang selfie di tengah jumatan, dan para “pejuang akidah” yang suka menenggelamkan orang lain demi kelihatan paling lurus, berhati-hatilah. Bisa jadi kalian sedang melakukan maksiat dalam bentuk ibadah. Sementara si pendosa di pojokan sana, dengan air mata dan dadanya yang sesak oleh rasa bersalah, sedang merangkak lebih dekat kepada Tuhan daripada kalian yang berdiri dengan dada membusung.

Tuhan tidak mencari yang sempurna, Ia mencari yang jujur. Dan kejujuran lebih sering ditemukan di lembah maksiat yang remuk, daripada di menara ketaatan yang menjulang, karena tinggi tidak selalu berarti dekat dengan langit.

Kemudian ibnu atoillah berkata: “Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih.” Ini bukan sekadar quote motivasi yang bisa ditempel di bio Instagram. Ini tamparan lembut, tapi menyakitkan, buat kaum hedon yang pikir bahagia bisa dibeli dalam paket cicilan 24 bulan. Ibnu atoillah sedang mengajari kita matematika spiritual, bukan kalkulasi diskon. Rumusnya sederhana: semakin sedikit yang kamu ikatkan pada dunia, semakin kecil kemungkinan dunia bisa menyakitimu.

Tapi coba kita lihat kaum material masa kini para pemuja brand, penyembah feed estetik, dan penulis mantra “self-reward dulu dong” setiap habis lembur. Mereka menggantungkan kebahagiaan pada jumlah notifikasi, angka gaji, panjang resi paket, dan durasi staycation. Mereka seperti anak kecil yang meletakkan hatinya di atas istana pasir, lalu menangis saat ombak datang, padahal laut tidak pernah janji akan diam. Ibnu atoillah, dengan kedalaman spiritualnya, sedang memberi nasihat yang lebih ampuh dari segala financial planner atau motivator TikTok: kalau kamu ingin bahagiamu tidak mudah dirampas, jangan menggantungkannya pada yang bisa hilang. Artinya, kalau bahagiamu ada di dompet, maka sedihmu akan datang tiap awal bulan. Kalau bahagiamu ada di wajah glowing, maka sedihmu akan hadir saat jerawat hormonal muncul. Dan jika bahagiamu bergantung pada validasi orang lain, maka sedihmu akan tiba saat kamu tidak lagi relevan di algoritma.

Gaya hidup hedonis modern bukan hanya mengundang kesedihan, tapi mengabadikannya dalam sistem. Kapitalisme tidak menjual barang, ia menjual rasa kurang. Maka kamu dipancing terus menerus untuk mengejar bahagia yang dikemas dalam bentuk benda. Tapi setelah benda itu sampai, bahagiamu cuma bertahan satu minggu, sisanya kamu ditagih cicilan. Maka, kata Ibnu atoillah, kurangi apa yang membuatmu bahagia bukan karena kamu anti kebahagiaan, tapi karena kamu sedang membersihkan lahan hati dari ilalang yang mudah terbakar. Kalau kamu tak lagi menggantungkan kebahagiaan pada dunia, maka dunia tak bisa lagi mematahkan hatimu. Itu sebabnya orang-orang zuhud tetap tenang saat kehilangan, karena sedari awal mereka tidak menggenggam. Bandingkan dengan kaum hedon: diskon batal, marah. Paket telat, stres. Feed kalah cantik, insecure. Padahal semua itu cuma bising dari dunia luar. Sementara batin mereka semakin kosong, seperti mall besar yang isinya cuma patung.

Maka mari kita uji hidup kita hari ini: berapa persen kebahagiaan kita yang berasal dari hal-hal fana? Jika jawabannya “mayoritas,” maka bersiaplah untuk menjadi orang yang mayoritas pula sedihnya. Tapi jika kita mulai menyederhanakan sumber bahagia, misalnya pada syukur, cinta tulus, dan ketenangan hati, maka hidup akan terasa seperti taman yang tidak butuh musim semi untuk tetap berbunga. Karena ternyata, saat kamu berhenti mengejar segalanya, kamu mulai merasakan segalanya. Dan mungkin itulah cara Tuhan menuntun kita: bukan dengan menambah, tapi dengan mengurangi. Supaya kita sadar, bahwa bahagia sejati itu bukan soal memiliki lebih banyak, tapi soal menginginkan lebih sedikit.

Di lain waktu ibnu atoillah berkata: “Pemberian dari makhluk adalah kerugian, penolakan pemberian oleh Allah adalah kebaikan.” Kalimat ini terdengar paradoksal bagi para pecinta giveaway, pemburu subsidi, dan pemuja “bantuan” dari tangan-tangan manusia. Tapi di sinilah letak kejeniusan Ibnu atoillah: beliau membongkar satu ilusi sosial yang sangat mengakar bahwa pemberian selalu berarti keuntungan. Padahal kenyataannya, banyak pemberian dari makhluk lebih menyerupai jerat daripada rahmat. Kadang dikemas manis dalam bentuk hadiah, bantuan, tunjangan, atau bahkan promosi jabatan. Tapi dalam bungkusan itu sering tersembunyi tagihan moral, kontrak tak tertulis, dan tali pengikat yang suatu hari akan ditarik ketika kita lengah. “Ambillah, ini tidak seberapa,” katanya. Tapi di kemudian hari, kita dipanggil dengan nada, “Kamu masih ingat saya yang dulu bantu kamu, kan?”

Inilah dunia manusia: pemberian seringkali bukan karena cinta, tapi karena kalkulasi. Kita seolah dapat gratisan, padahal itu investasi yang keuntungannya nanti ditagih dalam bentuk loyalitas, diam, atau bahkan pengkhianatan terhadap nurani. Dan betapa banyak orang kehilangan dirinya karena menerima sesuatu yang tampaknya kecil. Hanya karena diberi “selembar fasilitas,” orang rela mengganti prinsipnya dengan materai basah. Kadang, cukup satu bungkusan amplop untuk mengubah seseorang dari pencari kebenaran menjadi tukang angguk. Dari pembela keadilan menjadi penjilat kekuasaan. Di sinilah Ibnu atoillah ingin kita waspada: jangan terlalu gembira dengan pemberian makhluk, sebab bisa jadi itu adalah kerugian dalam jangka panjang. Kau terima satu hal, tapi kau harus bayar dengan bagian dari dirimu sendiri. Sedikit demi sedikit, hatimu tergadai, suaramu disensor oleh rasa sungkan, dan langkahmu dikendalikan oleh utang budi.

Sementara di sisi lain, ketika Allah menolak memberi dalam bentuk rezeki yang lambat, jabatan yang tak kunjung naik, cinta yang tak dibalas maka itu bukan murka, melainkan kebaikan tersembunyi. Sebab Allah tidak butuh timbal balik. Ia tidak akan mengungkit, apalagi menyandera nuranimu. Ia menolak bukan karena benci, tapi karena sayang. Karena Dia tahu bahwa pemberian itu, jika dikabulkan, justru akan menjatuhkanmu.

Bandingkan: pemberian manusia bisa memenjarakan. Tapi penolakan dari Tuhan justru bisa membebaskan. Maka jangan keliru memilih: ditolak Tuhan itu lebih mulia daripada diterima manusia yang punya agenda. Dan mari jujur: berapa banyak dari kita hari ini yang hidup dalam tekanan rasa “tidak enakan”? Tak enak menolak ajakan korupsi, karena pernah dibantu. Tak enak menegur bos, karena pernah dibayari. Tak enak bicara kebenaran, karena pernah diangkat jabatan. Hidup pun jadi semacam sandera relasi sosial, bukan makhluk merdeka di hadapan Tuhan.

Maka jalan keluarnya bukan menjadi anti-sosial atau anti-bantuan. Tapi bersikap selektif dan sadar diri: jangan tergoda pada pemberian yang menjebak, dan jangan kecewa pada penolakan Tuhan yang menyelamatkan. Kadang yang kau anggap musibah itu justru bentuk tertinggi rahmat. Sementara yang kau anggap berkah dari manusia, ternyata adalah rantai beludru yang memperbudak jiwa. Ibnu atoillah sedang mengingatkan kita: jangan cepat bangga ketika diberi manusia, dan jangan cepat putus asa ketika ditolak Tuhan. Sebab yang satu bisa menyesatkan, dan yang lain justru menyucikan.


Share:

Selasa, 05 Desember 2023

Selamat Datang di Blog Cah Bagush

Media coret-coret pribadi

  

Share:

Blogroll

Blogger templates